Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU merupakan sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia. Sejarah NU ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang keagamaan, pengajaran, sosial, dan ekonomi. Ketidakhadiran NU merupakan salah satu upaya melembagakan wawasan adat istiadat keagamaan yang dianut jauh sebelumnya, merupakan mengerti Ahlussunnah wal Jamaah.
Selain itu, NU sebagaimana organisasi-organisasi pribumi lain baik yang bersifat sosial, adat istiadat atau keagamaan yang lahir di masa penjajah, pada dasarnya merupakan perlawanan terhadap penjajah. Hal ini didasarkan, berdirinya NU dipengaruhi situasi politik dalam dan luar negeri, sekaligus merupakan kebangkitan kesadaran politik yang ditampakkan dalam bentuk gerakan organisasi dalam menjawab kepentingan nasional dan dunia Islam umumnya.
Sejarah Berdirinya NU
Imbas penjajahan ataupun imbas kungkungan adat istiadat, sudah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, lewat jalan pengajaran dan organisasi. Gerakan yang timbul 1908 hal yang demikian diketahui dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan terus menyebar – sesudah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berjenis-jenis organisasi pengajaran dan pembebasan.
Merespon kebangkitan nasional hal yang demikian, Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) disusun pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau diketahui juga dengan Nahdlatul Fikri (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pengajaran sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar).
Serikat itu diwujudkan basis untuk membetulkan perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi institusi pengajaran yang berkembang benar-benar pesat dan memiliki cabang di sebagian kota.
Berangkat dari munculnya berjenis-jenis tipe komite dan organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka sesudah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka sesudah berkordinasi dengan berjenis-jenis kyai, karena tidak terakomodir kyai dari kalangan tradisional untuk mengikuti konferensi Islam Dunia yang ada di Indonesia dan Timur Tengah hasilnya timbul kesepakatan dari para ulama pesantren untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) di Kota Surabaya. Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasjim Asyari sebagai Rais Akbar.
Ada banyak faktor yang melatar belakangi berdirinya NU. Di antara faktor itu merupakan perkembangan dan pembaharuan pemikiran Islam yang menghendaki pelarangan seluruh bentuk amaliah kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam kembali pada ajaran Islam Murni, merupakan dengan metode umat islam melepaskan diri dari metode bermadzhab. Bagi para kiai pesantren, pembaruan pemikiran keagamaan sejatinya konsisten merupakan suatu keniscayaan, tapi konsisten tidak dengan meninggalkan adat istiadat keilmuan para ulama terdahulu yang masih relevan. Untuk itu, Jamiyah Nahdlatul Ulama cukup mendesak untuk langsung didirikan.
Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasjim Asyari Sebagai Tokoh Pendiri NU dan Sebagai Ulama NU merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab Itiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab hal yang demikian kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang diwujudkan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Paham Keagamaan NU
NU menganut mengerti Ahlussunah waljamaah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber aturan Islam bagi NU tidak hanya al-Quran, sunnah, tapi juga memakai kesanggupan logika ditambah dengan realitas empirik. Metode berpikir semacam itu direferensikan dari pemikir terdahulu seperti Abu al-Hasan al-Asyari dan Abu Mansur Al Maturidi dalam bidang teologi/Tauhid/ketuhanan. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: Imam Syafii dan mengakui tiga madzhab yang lain: Imam Hanafi, Imam Maliki,dan Imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, memaksimalkan metode Al-Ghazali dan Syeikh Juneid al-Bagdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih ataupun sosial. Serta merumuskan kembali relasi NU dengan negara. Gerakan hal yang demikian berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.